“Hadis Nabi Saw dan Ragam Pembagiannya”
Oleh Izzatus Sholihah
Dosen Tetap STAI Badrus Sholeh Purwoasri Kediri
Pendahuluan
Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan karunia-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga dan para shahabatnya.
Tujuan utama dalam mempelajari ilmu hadis adalah untuk mengetahui apakah suatu hadis itu shahih atau tidak. Hal ini, karena hadis merupakan sumber syari’at Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Karenanya, otentisitas dan validitas hadis menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Sejak masa yang sangat dini, bahkan sejak nabi Muhammad SAW masih hidup, para ulama di kalangan shahabat telah melakukan pengecekan otentisitas berita yang bersumber dari nabi Muhammad SAW. Umar bin al-Khathab misalnya, ia mempertanyakan kembali kepada nabi SAW tentang berita yang diterima dari tetangganya bahwa nabi SAW telah menceraikan isteri-isterinya, ternyata nabi SAW tidak melakukan hal itu melainkan hanya tidak mengumpulinya saja.
Dalam mempelajari ilmu hadis, paling tidak ada 3 komponen yang harus dikuasai, yaitu ilmu mushthalah hadis, ilmu takhrij hadis dan metode memahami hadis. Ilmu mushtalah hadis menempati urutan pertama karena ia ibarat sebuah pondasi bagi seseorang yang ingin mendalami ilmu hadis. Tanpa menguasai ilmu mushthalah hadis, sulit rasanya bagi seseorang untuk dapat memahami komponen-komponen lain dalam ilmu hadis.
Tulisan sederhana ini adalah diktat tentang mushthalah hadis yang penulis ajarkan kepada para mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam Badrus Sholeh (STAIBA) Purwoasri Kediri. Sebagai sebuah diktat, tentu penulis berharap agar tulisan sederhana ini bisa menjadi sebuah pegangan dasar bagi para mahasiswa dalam mempelajari matakuliah studi hadis yang nantinya bisa mereka kembangkan dalam penulisan makalah dan dalam diskusi-diskusi.
Akhirnya kepada Allah Swt penulis memohon agar kehadiran buku ini bermanfaat, khususnya bagi para mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Badrus Sholeh (STAIBA) Purwoasri Kediri dan menjadi tambahan pahala bagi penulis di hari akhir kelak. Amin !
- Kedudukan dan Fungsi Hadis Dalam Islam
Para ulama sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum yang kedua dalam ajaran Islam. Di antara dalil tentang kehujahan hadis dalam Islam adalah firman Allah Swt surat an-Nisa ayat 59,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Adapun kehujahan hadis sebagai sumber hukum dalam Islam yang bersumber dari hadis Nabi Saw adalah hadis Mu’adz yang populer ketika Nabi Saw mengutusnya berdakwah ke daerah Yaman,
عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ، مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: «كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟»، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ؟» قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي
Mengenai fungsi hadis terhadap al-Qur’an, secara umum hadis merupakan penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt surat an-Nahl ayat 44,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Adapun secara terperinci, fungsi hadis adalah sebagai berikut:
- Penjelas ayat al-Qur’an yang masih global
Contohnya adalah penjelasan Nabi Saw mengenai tatacara atau gerakan shalat, karena dalam ayat al-Qur’an tidak dijelaskan bagaimana tatacara shalat yang benar. Di dalam al-Qur’an hanya ada perintah untuk mengerjakan shalat.
- Penjelas ayat al-Qur’an yang maknanya masih samar
Contohnya adalah kesamaran makna yang dialami oleh shahabat ‘Ady bin Hatim ketika turun firman Allah Swt surat al-Baqarah ayat 187,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Ia kemudian mengambil benang warna putih dan benang warna hitam. Setelah Nabi Saw mengetahui hal tersebut, beliau lantas tertawa dan berkata, “sesungguhnya yang dimaksud ayat di atas adalah hitamnya (gelapnya) malam dan putihnya (terangnya) siang.”
- Pembatas kemutlakan ayat al-Qur’an
Contohnya adalah penjelasan Nabi Saw tentang batasan potong tangan bagi seorang pencuri dalam surat al-Maidah ayat 38,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Bahwa yang dipotong adalah sebatas pergelangan tangan tidak sampai sikut seperti halnya dalam masalah wudhu. Hal ini karena ketika kata “tangan” diucapkan, terkadang makna yang dimaksud adalah pergelangan tangan, terkadang juga maknanya adalah sikut.
- Pengkhusus keumuman ayat al-Qur’an
Contohnya adalah pengkhususan Nabi Saw mengenai makna zhalim yang terkandung dalam firman Allah Swt surat al-An’am ayat 83,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Ketika ayat di atas turun, para shahabat merasa berat karena tidak ada satupun dari mereka yang terbebas dari sifat zhalim. Nabi Saw kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zhalim dalam ayat di atas adalah kemusyrikan.
- Penguat hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
Contohnya adalah sikap Nabi Saw yang menghukum peminum khamar sebagai penguat keharaman meminum khamar yang terkandung dalam surat al-Maidah ayat 90,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
- Pengertian Hadis dan Istilah Yang Terkait Dengannya
- Pengertian Hadis
Menurut para pakar ilmu hadis, Hadis mempunyai beberapa sinonim yaitu Sunnah, Khabar dan Atsar. Secara bahasa, hadis adalah berita, pembicaraan dan perkataan. Adapun secara istilah maknanya adalah sesuatu yang datang dari Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
- Pengertian Sunnah
Secara bahasa, kata sunnah memiliki banyak pengertian. Di antaranya adalah suatu perjalanan yang diikuti, baik itu perjalanan yang baik ataupun perjalanan yang buruk. Makna lain dari kata sunnah adalah tradisi yang berkelanjutan.
Adapun sunah menurut istilah, juga terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Menurut ulama ilmu hadis, sunnah secara istilah adalah segala perkataan Nabi Saw, perbuatan dan segala tingkah lakunya. Adapun menurut ulama ushul fiqih, sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw baik berupa segala perbuatan, perkataan dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’.
Menurut ulama fikih, sunnah artinya adalah suatu ketetapan yang datang dari Nabi Saw dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, ia adalah sebuah pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya.
- Pengertian Khabar
Menurut bahasa, khabar diartikan berita. Dari sisi istilah, khabar identik dengan hadis, hanya saja mayoritas ulama melihat hadis lebih khusus yang datang dari Nabi Saw, adapun khabar sesuatu yang datang dari Nabi Saw dan dari yang lain termasuk berita-berita umat terdahulu, para nabi dan lain-lain.
- Pengertian Atsar
Dari segi bahasa, atsar diartikan sebagai peninggalan atau bekas sesuatu, maksudnya peninggalan atau bekas Nabi karena hadis itu merupakan peninggalan beliau Saw. Sedangkan menurut istilah adalah khusus untuk apa yang diriwayatkan oleh para shahabat dan tabi’in, baik bersifat perkataan maupun perbuatan.
- Perbedaan Antara Hadis Nabawi Dan Hadis Qudsi
Hadis nabawi adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Saw sedangkan hadis qudsi adalah apa yang disandarkan kepada Allah Swt. Dari definisi tersebut, bisa disimpulkan bahwa Nabi Saw hanya menceritakan berita yang disandarkan kepada Allah Swt. Perbedaan lain adalah hadis qudsi maknanya dari Allah Swt yang disampaikan melalui suatu wahyu sedangkan redaksinya dari Nabi Saw. Adapun hadis nabawi, pemberitaan makna dan redaksinya berdasarkan ijtihad Nabi Saw sendiri. Pemberitaan dalam hadis qudsi disebut taufiqi, adapun pemberitaan dalam hadis nabawi disebut sebagai tauqifi.
- Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis
Sejak masa yang sangat dini, bahkan sejak Nabi Saw masih hidup, ilmu hadis yang inti kajiannya adalah meneliti otentisitas suatu hadis sesunggunya sudah ada. Tentu saja, cakupan kajiannya masih sangat terbatas karena semuanya masih dapat dengan mudah berpulang langsung kepada Nabi Saw untuk dilakukan cek dan riceknya.
Salah satu contoh pengecekan berita yang bersumber dari Nabi Saw adalah apa yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab. Suatu malam ketika ia sedang memikirkan kemungkinan pasukan kerajaan Ghassan akan menyerbu umat Islam di Madinah, tiba-tiba ada seorang tetangganya yang mengetuk pintu dan memanggil namanya dengan lantang. Orang ini kemudian menyampaikan sebuah berita yang membuat Umar kaget dan merasa keheranan. Tetangganya itu memberitakan bahwa Nabi Saw telah menceraikan istri-istrinya.
Kekagetan umar ini bukan karena salah seorang istri Nabi Saw adalah puterinya sendiri yang bernama Hafshah, melainkan Umar merasa ada yang janggal dari berita tetangganya itu, karena menurutnya mungkinkah Nabi Saw melakukan hal itu? Untuk meyakinkan kebenaran berita tersebut, esok harinya pagi-pagi sekali Umar menghadap Nabi Saw. Ia menanyakan kepada Nabi Saw tentang validitas berita yang diterimanya itu. Ternyata keyakinannya itu benar karena Nabi Saw tidak ada niat sedikitpun untuk menceraikan istri-istrinya melainkan hanya tidak mengumpulinya saja.
Kejadian di atas memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi Saw dapat dengan mudah dilakukan cek dan riceknya secara langsung. Karena Nabi Saw saat itu masih hidup. Berbeda dengan perkembangan berikutnya setelah Nabi Saw wafat, ilmu hadis mengalami perkembangan baru. Dengan semakin jauhnya umat Islam dari masa Nabi Saw muncullah kemudian ilmu yang secara khusus meneliti para pembawa atau periwayat hadis. Lebih-lebih, seperti yang dituturkan oleh Muhammad bin Sirin (110 H), sesudah terjadinya fitnah (perpecahan dalam tubuh umat Islam menyusul wafatnya Utsman bin Affan 36 H), umat Islam saat itu apabila mendengar suatu hadis akan selalu menanyakan dari siapakah hadis itu diperoleh? Apabila hadis itu diperoleh dari orang-orang penyebar bid’ah, maka hadis itu tegas-tegas akan ditolak. Tetapi sebaliknya, apabila hadis itu diterima dari orang-orang ahlussunnah, maka hadis itu akan diterima sebagai hujjah dalam agama Islam.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa penelitian tentang ‘adalah ar-rawi (kredibilitas pembawa berita) justeru muncul belakangan setelah penelitian tentang otentisitas matan (materi hadis) banyak dibicarakan.
Lambat tapi pasti, ilmu hadis mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Ilmu yang semula disampaikan dengan bantuan medium lisan ini kemudian ditulis dan dibukukan. Hanya saja bentuknya belum ditulis secara utuh, melainkan masih bercampur dengan pembahasan disiplin ilmu lainnya. Seperti contoh kitab al-Umm dan ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i (204 H) yang dibahas dalam satu kitab bersama dengan ilmu ushul fikih.
Pada perkembangan selanjutnya, masing-masing cabang ilmu telah terpisah dari cabang-cabang ilmu lainnya. Peristiwa ini terjadi pada abad ke IV hijriyah. Karenanya, para ahli hadis kemudian berupaya melahirkan dan menyusun secara khusus kitab mengenai ilmu hadis. Ahli hadis yang pertama kali menyusun kitab dalam disiplin ilmu hadis adalah al-Qadhi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (360 H) dalam karyanya yang berjudul al-Muhadis al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i.
Selanjutnya, apa yang sudah dirintis oleh ar-Ramahurmuzi itu dilanjutkan oleh Imam al-Hakim an-Naisaburi (405 H) dalam kitabnya yang berjudul Ma’rifah Ulum al-Hadis. Melengkapi kerja al-Hakim, Abu Nu’aim al-Ishfahani (430 H) menulis kitab yang berjudul al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis. Beberapa tahun kemudian, al-Khatib al-Baghdadi (463 H) menulis banyak sekali kitab dalam disiplin ilmu hadis , bahkan hampir semua pembahasannya ditulis secara baik dan mendalam. Di antara karya-karyanya adalah al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah dan al-Jami’ Baina Akhlak ar-Rawi wa Adab as-Sami’.
Al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi (544 H) juga menyusun sebuah kitab tentang ilmu periwayatan hadis yang bernama al-Ilma’ fi Dabth ar-Riwayah wa Taqyid as-Sama’. Menyusul kemudian al-Miyanji (580 H) yang menulis kitab kecil yang berjudul Ma La Yasa’ al-Muhadits Jahluhu. Baru setelah itu muncullah Imam Ibn ash-Shalah (643 H) seorang tokoh hadis yang mendapat gelar hafizh al-hadis. Ia telah melahirkan sebuah karya yang monumental dan fenomenal, karenanya secara metodologis karya-karya yang muncul belakangan tidak bisa melepaskan diri untuk selalu mengacu kepada kitab ini. Kitab dengan judul Ulum al-Hadis yang populer dengan nama Muqadimmah Ibn ash-Shalah kemudian menjadi sebuah kitab yang paling banyak dijadikan acuan oleh para ulama sesudahnya. Tercatat tidak kurang dari 33 kitab yang membahas kitab ini, baik berupa ringkasan, ulasan, syair dan perbandingan.
Ringkasan yang pertama kali hadir dari kitab tersebut adalah karya Imam an-Nawawi (676 H) yang berjudul al-Irsyad. Merasa kitab yang disusunnya ini belum ringkas dan tidak memudahkan, beliau kemudian meringkasnya lagi dengan judul at-Taqrib wa at-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir wa an-Nazir. Belakangan, kitab ini diberi syarah oleh Imam as-Suyuti (911 H) dengan judul Tadrib ar-Rawi.
Setelah itu, Imam al-‘Iraqi (806 H) membuat nadzam dan tambahan pembahasan atas kitab Ulum al-Hadis karya Imam Ibn ash-Shalah di atas dengan judul alfiyah al-Iraqi. Kitab alfiyah al-Iraqi ini kemudian disyarahi oleh Imam as-Sakhawi (902 H) dengan judul Fath al-Mughits Fi Syarh Alfiyah al-Hadis.
Selain kitab-kitab di atas, masih banyak lagi kitab-kitab yang disusun oleh para ulama yang muncul belakangan dalam bidang ilmu hadis.
- Pembagian Ilmu Hadis
- Ilmu Hadis Riwayah
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat serta segala sesuatu yang disandarkan kepada para shahabat dan tabi’in.
Definisi lain mengatakan ilmu yang mempelajari tentang segala perkataan kepada Nabi Saw, segala perbuatan beliau, periwayatannya, batasan-batasannya, dan ketelitian segala redaksinya.
Pendiri ilmu hadis riwayah adalah Muhammad Ibn Syihab az-Zuhri (124 H) . ia adalah orang pertama yang melakukan penghimpunan ilmu hadis riwayah seara formal berdasarkan instruksi dari Khalifah Umar bin Abd al-Aziz.
- Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Pendiri ilmu hadis dirayah adalah Imam ar-Ramahurmuzi (360 H) . Ilmu hadis dirayah mempunyai nama lain yaitu ulum al-hadis, ushul al-hadis, mushthalah al-hadis dan lain sebagainya.
Pembagian Hadis Dari Segi Kuantitas Perawi
- Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta dari sesama jumlah banyak dari awal sanad sampai akhir. Hukum hadis mutawatir adalah memberi faedah ilmu dharuri atau yakin dan wajib diamalkan.
Hadis mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang mutawatir lafal dan maknanya. Sedangkan hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang mutawatir maknanya saja tidak lafazhnya.
Contoh hadis mutawatir lafzhi adalah
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه البخاري ومسلم)
Sedangkan contoh hadis mutawatir maknawi adalah hadis tentang mengangkat kedua tangan dalam berdoa. Menurut penelitian Imam as-Suyuti, terdapat 100 periwayatan yang menjelaskan bahwa Nabi Saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa.
- Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Maksudnya perawi hadis ahad tidak mencapai jumlah banyak yang meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin sepakat berbohong sebagaimana dalam hadis mutawatir.
Hadis ahad tidak memberikan faedah dharuri melainkan faedah nazhari, artinya ilmu yang memerlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki sifat-sifat kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Hadis ahad kemudian terbagi menjadi hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib. Hadis masyur adalah hadis yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih pada setiap tingkatannya tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir. Hadis aziz adalah hadis yang satu tingkatan dari beberapa tingkatan sanadnya terdapat dua orang perawi saja. Sedangkan hadis gharib adalah hadis yang bersendiri seorang perawi di mana saja tingkatan dari beberapa tingkatan sanad.
- Pembagian Hadis Dari Segi Kualitas perawi
- Hadis Shahih
Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil dan dhabith, selamat dari kejanggalan dan cacat. Dari sini, sebuah hadis dikatakan shahih mengandung arti bahwa hadis tersebut telah memenuhi kriteria kesahihan suatu hadis. Namun, tidak serta merta bisa dipastikan bahwa hadis tersebut benar-benar merupakan sabda Nabi Saw. Sebaliknya, jika terdapat sebuah hadis dikatakan bahwa hadis tersebut tidak shahih, maka maksud dari pernyataan itu bahwa sistem sanad hadis tersebut tidak memenuhi kriteria sanad yang dibutuhkan dalam hadis shahih.
Hadis shahih ini kemudian terbagi menjadi dua yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi. Hadis shahih lidzatihi adalah hadis shahih dengan sendirinya karena telah memenuhi 5 kriteria hadis shahih. Sedangkan hadis shahih lighairihi adalah hadis hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat darinya.
Contoh hadis shahih lidzatihi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik
كان النبى صلى الله عليه وسلم يقول اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل والجبن والهرم وأعوذ بك من فتنة المحيا والممات وأعوذ بك من فتنة القبر
Sedangkan contoh hadis shahih lighairi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi melalui jalan Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda,
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Hadis di atas sebenarnya berkualitas hasan lidzatihi, tetapi hadis ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim melalui jalur Abu az-Zanad dan al-A’raj dari Abu Hurairah. Maka hadis ini kualitasnya naik menjadi hadis shahih lighairihi.
Hukum hadis shahih adalah wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Hadis shahih lighairihi lebih tinggi derajatnya daripada hasan lidzatihi tetapi lebih rendah daripada shahih lidzatihi. Sekalipun demikian, ketiganya dapat dijadikan hujjah.
- Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada kejanggalan dan tidak ada ilat. Dari pengertian di atas, pengertian hadis hasan hampir sama dengan pengertian hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadis shahih, kedhabitan semua perawinya harus sempurna, sedangkan dalam hadis hasan, kurang sedikit kedhabitannya.
Hadis hasan terbagi menjadi dua bagian yaitu hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Hasan lidzatihi adalah hadis hasan itu sendiri, sedangkan hasan lighairihi adalah hadis dhaif yang diriwayatkan melalui jalan sanad lain dan sebab kedhaifannya bukan karena fasik atau dustanya seorang perawi. Hadis hasan dapat dijadikan hujah dalam agama, walaupun kualitasnya di bawah hadis shahih.
Contoh hadis hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah Saw bersabda,
أعمار أمتي ما بيت الستين إلى السبعين وأقلهم من يجوز ذلك
Kitab Sunan at-Tirmidzi karya Imam at-Tirmidzi merupakan kitab sumber untuk mengetahui hadis hasan. Ia adalah orang yang pertama kali mempopulerkan istilah hadis hasan.
- Hadis Dhaif
Hadis dhaif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis shahih dan hadis hasan. Dari pengertian tersebut, hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadis hasan atau hadis shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung, perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi kejanggalan baik dalam sanad maupun matan, dan adanya cacat yang tersembunyi dalam sanad dan matan.
Para ulama membolehkan menggunakan hadis dhaif sebagai hujah dengan syarat tidak berkaitan dengan akidah dan tidak menjelaskan tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram.
- Pembagian Hadis Dhaif
Macam-macam cacat yang menjadi penyebab kedhaifan suatu hadis terkait pada dua hal, yaitu sanad dan matan. Kecacatan sebab pengguguran sanad, disebut dengan hadis mursal, munqathi’, mu’dhal, mu’allaq dan mudalas. Sedangkan kecacatan karena keadilan perawi maka hadisnya disebut maudhu’, matruk dan majhul. Adapaun cacat karena kedhabitan disebut sebagai hadis munkar, mu’allal, mudraj, maqlub, mudhtharib, muharraf, mushahaf dan syadz.
- Hadis Mursal
Hadis mursal adalah hadis yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi Saw tanpa menyebutkan penghubung antara seorang tabi’in dan Nabi Saw yaitu seorang shahabat.
Hadis mursal terbagi menjadi 3 bagian yaitu, mursal tabi’i yang pengertiannya sama seperti di atas. Kedua mursal shahabi yaitu periwayatan di antara shahabat junior dari Nabi Saw padahal mereka tidak melihat dan tidak mendengar langsung dari Nabi Saw. Hal ini terjadi karena usianya yang masih kecil. Ketiga mursal khafi adalah gugurnya perawi di mana saja tempat dari sanad di antara dua orang perawi yang semasa tetapi tidak bertemu. Hadis mursal masuk ke dalam kategori hadis dhaif karena ia tidak memenuhi persyaratan hadis maqbul yaitu bersambungnya sanad.
Walau demikian, di kalangan para ulama ada perbedaan pendapat mengenai hukum berhujah dengan hadis mursal. Pendapat pertama bersumber dari Imam Muslim bin al-Hajjaj, Abu Hatim, al-Hakim dan lain sebagainya mengatakan bahwa hadis mursal tidak dapat dijadikan hujah karena alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan tidak diketahui secara jelas. Pendapat kedua, bersumber dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad mengatakan bahwa hadis mursal hukumnya shahih dan dapat dijadikan hujah jika yang memursalkannya dapat dipercaya keadilan dan kedhabitanya. Pendapat ketiga yang bersumber dari Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa hadis mursal dapat diterima sebagai hujah dengan syarat-syarat tertentu, yaitu perawi yang memursalkan hadis adalah seorang tabi’i senior, perawinya tsiqah, tidak menyalahi para hufazh yang amanah, hadisnya diriwayatkan melalui jalan sanad lain, sesuai dengan perkataan shahabat atau sesuai dengan fatwa mayoritas ahli ilmu.
Contoh hadis mursal adalah hadis riwayat Ibn Sa’ad dalam kitab Thabaqatnya,
ياأيها الناس إنما أنا رحمة مهداة
Dalam sanad riwayat di atas, Abu Shalih adalah seorang tabi’in, dia langsung menyandarkan hadis tersebut kepada Nabi Saw tanpa menjelaskan perantara shahabat yang menghubungkannya kepada Rasulullah Saw.
- Hadis munqathi’
Hadis munqathi adalah hadis yang digugurkan dari sanadnya seorang perawi atau lebih sebelum shahabat tidak berturut-turut. Hadis munqathi termasuk ke dalam hadis mardud menurut kesepakatan para ulama karena tidak diketahui sifat-sifat perawi yang digugurkan. Cara mengetahui hadis munqathi bisa dilakukan karena tidak adanya pertemuan antara seoang perawi dan orang yang menyampaikan periwayatan karena tidak hidup semasa atau karena tidak pernah bertemu antara keduanya.
Contoh hadis munqathi adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abdul Razaq dari ats-Tsauri dari Abu Ishak dari Hudzaifah secara marfu’
إذا وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Pada sanad hadis di atas, ada seorang perawi yang digugurkan yaitu Syarik yang semestinya menempati antara ats-Tsauri dan Abu Ishak.
- Hadis mu’dhal
Hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dari sanadnya dua orang atau lebih secara berturut-turut. Hadis mu’dhal termasuk ke dalam hadis mardud karena tidak diketahui keadaan perawi yang digugurkan.
Contoh hadis mu’dhal adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim yang disandarkan kepada al-Qa’nabi dari Malik sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata bahwa Nabi Saw bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته ولا يكلف إلا ما تطيق
Hadis di atas mu’dhal karena digugurkan dua orang perawi secara berturt-turut antara Malik dan Abu Hurairah yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan ayahnya.
- Hadis mu’allaq
Hadis mu’allaq adalah hadis yang sanadnya bergantung karena dibuang dari awal sanad seorang perawi atau lebih secara berturut-turut. Dengan demikian, hadis mu’allaq bisa jadi yang dibuang semua sanadnya dari awal sampai akhir kemudian berkata Rasulullah Saw bersabda atau dibuang semua sanad selain shahabat atau selain tabi’in atau dibuang pemberitanya saja.
Hadis mu’allaq termasuk ke dalam hadis mardud karena tidak diketahui sifat-sifat perawi yang dibuang. Berbeda jika mu’allaq terjadi pada kitab al-Bukhari dan Muslim yang diterima keshahihannya oleh para ulama secara aklamasi. Hal ini karena mu’allaq di sini dimaksudkan untuk meringkas dan menjauhi dari pengulangan.
Contoh hadis mu’allaq adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, ia berkata, Malik berkata, memberikatakan kepadaku Zaid bin Aslam bahwa Atha’ bin Yasar memberitakan kepadanya bahwa Abu Said al-Khudri memberitakan kepadanya bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda,
إذا أسلم العبد فحسن إسلامه يكفر الله عنه كل سيئة كان زلفها وكان بعد ذلك القصاص الحسنة بعشر أمثالها إلى سبع مائة ضعف والسيئة بثملها إلا أن يتجاوز الله عنها
Hadis di atas mu’allaq karena al-Bukhari menggugurkan syaikhnya sebagai penghubung dari Malik dengan menggunakan bentuk kata aktif yang meyakinkan yaitu “ia berkata: Malik berkata” .
- Hadis mudalas
Hadis mudalas adalah menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakan cara periwayatan yang baik. Maksud menampakan cara periwayatan yang baik adalah menggunakan ungkapan periwayatan yang tidak tegas bahwa ia mendengar dari penyampai berita. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berhujah dengan hadis mudalas. Ada yang dengan tegas menolak hadis tersebut namun juga ada yang menerimanya dengan syarat-syarat tertentu yaitu jika perawinya tsiqah dan tidak melakukan tadlis kecuali dari orang-orang yang tsiqah.
- Hadis maudhu’
Hadis maudhu’ adalah hadis yang diada-adakan, dibuat, dan didustakan oleh seseorang kepada Rasulullah Saw. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang tidak memasukkannya ke dalam bagian hadis dhaif karena ia bukan hadis dalam arti yang sebenarnya. Namun ada pula yang memasukkannya karena dalam arti palsu atau bohong secara tidak langsung sudah meniadakan makna hadis yang sebenarnya.
Di antara sebab-sebab terjadinya hadis maudhu’ adalah faktor politik, dendam dari musuh Islam, fanatisme suatu kabilah, negeri atau seorang pemimpin, para tukang cerita, mendekatkan kepada kebodohan, menjilat penguasa, perbedaan dalam madzhab, dan lain sebagainya.
Contoh hadis maudhu’ yang disebabkan karena fanatisme kabilah, negeri atau pemimpin adalah seseorang yang fanatik kepada kabilah persia, maka ia mengatakan
إن كلام الذين حول العرش بالفارسية
Untuk mengimbangi hadis maudhu’ di atas, muncullah dari lawannya yang fanatik terhadap bahasa Arab mengatakan
أبغض الكلام إلى الله الفارسية وكلام أهل الجنة العربية
Umat Islam telah sepakat bahwa membuat hadis maudhu’ hukumnya haram secara mutlak tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka. Menciptakan hadis maudhu’ sama dengan mendustakan kepada Rasulullah Saw.
- Hadis matruk
Hadis matruk adalah hadis yang salah satu perawinya tertuduh sebagai pendusta. Di antara sebab-sebab tertuduhnya seorang perawi ada beberapa kemungkinan yaitu periwayatan hadis yang menyendiri, seorang perawi dikenal pendusta pada hadis tertentu, seorang perawi menyalahi kaidah-kaidah yang maklum seperti kewajiban beragama dan lain sebagainya.
Hadis matruk tidak dapat diamalkan sama sekali karena cacat yang sangat fatal yaitu tertuduh dusta dan posisinya sangat dekat dengan hadis maudhu’.
Contoh hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya melalui jalan Juwaibir bin Sa’ad dari adh-Dhahak dari Ibn Abbas dari Nabi Saw
عليكم باصطناع المعروف فإنه يمنع مصارع السوء وعليكم بصدقة السر فإنها تطفئ غضب الله تعالى
pada sanad hadis di atas, terdapat nama Juwaibir bin Sa’ad. An-Nasa’i dan ad-Daruquthni berkata bahwa ia matruk al-hadis.
- Hadis munkar
Hadis munkar adalah hadis yang pada sanadnya terdapat seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaan atau nampak kefasikannya. Tingkatan kedhaifan hadis munkar setelah hadis matruk, karena cacat hadis munkar sangat parah yaitu banyak kesalahan dan banyak kelupaan sehingga menyalahi periwayatan para perawi yang tsiqah.
Contoh hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah melalui Usamah bin Zaid dari Ibn Syihab dari Abu Salamah dari ayahnya secara marfu’
صائم رمضان في السفر كالمفطر في الحضر
Hadis di atas munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid secara marfu’ dari Rasulullah Saw bertentangan dengan periwayatan Ibn Abu Dzi’bin yan tsiqah, menurutnya hadis di atas mauquf kepada Abdurrahman bin Auf.
- Hadis mu’allal
Hadis mu’allal adalah hadis yang dilihat di dalamnya terdapat illat yang membuat cacat keshahihan hadis, padahal secara lahirnya selamat dari illat tersebut. Illat ini dapat terjadi pada sanad seperti memauqufkan yang semestinya mursal atau sebaliknya, juga dapat terjadi pada matan hadis.
Mengetahui illat hadis termasuk ilmu hadis yang sangat tinggi karena tidak semua orang mampu menyingkap cacat yang tersembunyi dan tidak mudah mengetahuinya kecuali bagi para ahli hadis yang memiliki ketajaman dan kejernihan dalam berfikir.
Contoh hadis mu’allal adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan Imam Abu Dawud dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdussalam bin Harb dari al-A’masy dari Anas berkata
كان النبى صلى الله عليه وسلم إذا أراد الحاجة لم يرفع ثوبه حتى يدنو من الأرض
Hadis di atas lahirnya adalah shahih karena semua perawi dalam sanad adalah tsiqah, tetapi al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Hal ini sesuai dengan penuturan Ibn al-Madini yang mengatakan bahwa ia melihatnya di Mekah shalat di belakang maqam Ibrahim.
- Hadis mudraj’
Mudraj artinya memasukan atau menghimpun atau menyisipkan. Jadi memasukan sesuatu kepada sesuatu yang lain yang semula belum masuk atau belum menjadi bagian daripadanya. Atau menyisipkan sesuatu yang belum dianggap menjadi bagian dari sesuatu yang lain agar dianggap menjadi bagian daripadanya.
Hadis mudraj terbagi menjadi dua bagian yaitu mudraj pada sanad dan mudraj pada matan. Mudraj pada sanad adalah hadis yang dirubah konteks sanadnya, sedangkan mudraj pada matan adalah hadis yang dimasukan ke dalam matannya sesuatu yang bukan bagian daripadanya tanpa ada pemisah. Tambahan atau sisipan ini bisa jadi di awal, di tengah atau di akhir matan.
Contoh hadis mudraj adalah hadis yang bersumber dari Syarik bin Abdullah al-Qadhi,
من كثرت صلاته بالليل حسن وجهه بالنهار
Tsabit menduga bahwa ungkapan tersebut adalah matan dari sanad hadis yang didiktekan kepadanya, padahal yang dimaksudkan dengan ungkapan di atas adalah seorang Tsabit sendiri karena ia seorang zahid dan wara’.
- Hadis maqlub
Hadis maqlub adalah hadis yang redaksinya terbalik baik pada sanad atau pada matan. Terkadang mendahulukan yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya, atau mengganti kata lain dengan tujuan tertentu. Faktor penyebabnya karena memang kesalahan yang tak disengaja atau karena untuk menguji daya ingat seseorang seperti yang terjadi pada pengujian kecerdasan yang dialami Imam al-Bukhari oleh para ulama baghdad dengan memutarbalikan 100 sanad dengan matan lain.
Contoh hadis maqlub dalam sanad adalah seperti periwayatan hadis dari ka’ab bin murrah dimaqlubkan menjadi murrah bin ka’ab.
- Hadis mudhtharib
Hadis mudhtharib adalah hadis yang kontra antara satu dengan yang lain tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat ditarjih. Di antara sebab idhthirabnya suatu hadis adalah karena lemahnya daya ingat perawi dalam meriwayatkan hadis tersebut sehingga terjadi kontra yang tak kunjung dapat diselesaikan solusinya.
Contoh hadis mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah Saw bersabda,
إن في المال لحقا سوى الزكاة
Sementara, pada riwayat Ibn Majah, Rasulullah Saw bersabda,
ليس في المال حق سوى الزكاة’
Menurut Imam al-‘Iraqi, hadis di atas mudhtharib dan tidak mungkin bisa ditakwilkan.
- Hadis mushahaf dan muharraf
Hadis mushahaf adalah hadis yang terdapat perbedaan di dalamnya dengan mengubah beberapa titik sedangkan bentuk tulisannya tetap. Sedangkan hadis muharraf adalah hadis yang terdapat perbedaan di dalamnya dengan mengubah syakal/harakat sedang bentuk tulisannya tetap. Tashhif bisa terjadi karena pendengaran rawi yang kurang, atau karena penglihatannya yang kurang terang.
Meskipun ada berbagai sebab yang menyebabkan mushahaf dan muharraf, tetapi yang umum adalah karena mengambil hadis dari isi kitab hadis namun tidak bertemu langsung dengan syaikhnya.
Contoh hadis mushahaf adalah hadis Nabi Saw
من صام رمضان وأتبعه ستا من شوال كان كصوم الدهر
Hadis di atas ditashhifkan oleh Abu Bakar ash-Shuli dengan ungkapan
من صام رمضان وأتبعه شيئا من شوال كان كصوم الدهر
- Hadis syadz.
Hadis syadz adalah periwayatan orang tsiqah menyalahi periwayatan lain yang lebih tsiqah. Dari penjelasan tersebut, hadis syadz adalah hadis yang ganjil karena periwayatannya menyalahi periwayatan orang tsiqah atau yang lebih tsiqah.
Jika periwayatan orang dhaif menyalahi periwayatan orang tsiqah maka disebut hadis munkar dan jika periwayatan orang yang lebih tsiqah menyalahi orang tsiqah maka disebut hadis mahfuzh.
Contoh hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi melalui jalur Abdul Wahid bin Zayyad bahwa Rasulullah Saw bersabda,
إذا صلى أحدكم ركعتي الفجر فليضطجع عن يمينه
Hadis di atas syadz karena menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan dari segi perbuatan Nabi Saw bukan dari sabda beliau.
Daftar Bacaan
Al-Ahdal, Hasan Muhammad Maqbuli, Mushthalah al-Hadis Wa Rijaluhu, Shan’a: Maktabah al- Jail al-Jadid, 1993 M
Ibn al-Hajjaj, Abu al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993 M
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008 M
Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009M
As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994 M
As-Suyuti, Abdurrahman bin Abu Bakar, Tadrib ar-Rawi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th
Ath-Thahan, Mahmud, Taysir Mushthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr, t.th
At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa, Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Fikr, 2001 M