Oleh Izzatus Sholihah
Dosen Tetap STAI Badrus Sholeh Purwoasri Kediri
- Pendahuluan
Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan kekhilafan. Hal ini karena kesalahan dan kehilafan adalah fitrah yang melekat pada diri manusia. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzî, Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ[1]
Artinya: “Setiap manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya yang melakukan kesalahan adalah orang yang segera bertaubat.”
Ini berarti bahwa manusia yang baik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah, sebab itu mustahil kecuali Rasulullah Saw yang ma’shûm (senantiasa dalam bimbingan Allah Swt).[2] Tetapi, manusia yang baik adalah manusia yang menyadari akan kesalahannya dan segera bertaubat kepada-Nya.
Nikmat Allah yang paling besar bagi manusia setelah iman dan Islam adalah nikmat dikaruniainya maaf atau ampunan. Nikmat ini senantiasa diberikan Allah Swt kepada setiap manusia meski manusia terus menerus melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Namun tentunya dengan catatan bahwa manusia yang diberikan nikmat ini hanya manusia yang senantiasa menyadari setiap perbuatan dosanya dan memohon maaf serta ampunan kepada Allah Swt.[3] Oleh karena itulah Allah Swt memberi gelar diri-Nya al-‘Afwu, Yang Maha Pemaaf. Allah Swt berfirman,
إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا
Artinya: “JIka kamu menyatakan sesuatu kebaikan menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS An-Nisâ [4] ayat 149)
Kemudian dalam ayat yang lain, Allah Swt menyeru kepada manusia untuk meniru salah satu sifat-Nya tersebut. Allah Swt berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS Al-A’râf [7]:199)
Dalam pandangan Islam, mampu memaafkan kesalahan orang lain termasuk sebagian dari akhlak yang sangat mulia dan luhur.[4] Ia merupakan salah satu ciri orang yang bertakwa (muttaqîn)[5] dan ia adalah sikap yang diutamakan di sisi Allah Swt.[6]
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Rasulullah Saw pernah menegaskan akan hal tersebut ketika shahabat ‘Uqbah bin Âmir bertanya mengenai amalan-amalan yang paling utama. Beliau Saw bersabda,
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ لَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَابْتَدَأْتُهُ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِفَوَاضِلِ الْأَعْمَالِ فَقَالَ يَا عُقْبَةُ صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَأَعْطِ مَنْ حَرَمَكَ وَأَعْرِضْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ[7]
Artinya: “Dari ‘Uqbah bin Âmir ia berkata, “Saya bertemu dengan Rasulullah Saw kemudian saya pegang tangannya dan bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahulah saya tentang amalan-amalan yang paling utama!” Beliau Saw kemudian menjawab, “Wahai ‘Uqbah sambunglah tali persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, berilah orang yang tidak mau memberi kepadamu dan maafkanlah orang yang telah mezhalimimu.”
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang berbuat salah atau zhalim kepada kita, yang diutamakan dan diperintahkan oleh agama adalah memaafkan kesalahan atau kezhaliman orang tersebut. Walaupun membalas kezhaliman atau keburukan juga diperbolehkan, namun memaafkan tetap lebih utama. Hal ini tampak jelas dalam firman Allah Swt dalam surat Asy-Syûrâ [42] ayat 40. Allah Swt berfirman,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS. Asy-Syûrâ [42]: 40)
- Kajian Pustaka
Dalam Al-Quran, kata al-‘Afwu dengan berbagai derivasi dan konteks yang bervariatif dinyatakan sebanyak 35 kali.[8] Dari 35 kata tersebut, kata al-‘Afwu dinyatakan dalam bentuk Fi’il Mâdhi sebanyak 11 kali, dalam bentuk Fi’il Mudhâri sebanyak 12 kali, dalam bentuk Fi’il ‘Amr sebanyak 4 kali, dalam bentuk Masdar sebanyak 7 kali dan dalam bentuk Isim Fa’il sebanyak 1 kali.[9] Ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:
- Kata al-‘Afwu dalam bentuk Fi’il Mâdhi
السورة | الآية | اللفظ | النمرة |
البقرة [2] | عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ (187) | عَفَا | 1 |
آل عمران [3] | ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ (152) | 2 | |
آل عمران [3] | وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (155) | 3 | |
المائدة [5] | عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ (95) | 4 | |
المائدة [5] | وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآَنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا (101) | 5 | |
التوبة [9] | عَفَا اللَّهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ (43) | 6 | |
الشورى | وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ (40) | 7 | |
الأعراف | ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ حَتَّى عَفَوْا (95) | عَفَوْا | 8 |
البقرة | ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (52) | عَفَوْنَا | 9 |
النساء | ثُمَّ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ فَعَفَوْنَا عَنْ ذَلِكَ (153) | 10 | |
البقرة | فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ (178) | عُفِيَ | 11 |
- Kata al-‘Afwu dalam bentuk Fi’il Mudhâri
السورة | الآية | اللفظ | النمرة |
البقرة [2] | وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ (237) | تَعْفُوْا | 12 |
النساء [4] | إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ (149) | 13 | |
التغابن [64] | وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (14) | 14 | |
التوبة [9] | إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً (66) | نَعْفُ | 15 |
الشورى [42] | أَوْ يُوبِقْهُنَّ بِمَا كَسَبُوا وَيَعْفُ عَنْ كَثِيرٍ (34) | يَعْفُ | 16 |
البقرة [2] | إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ (237) | يَعْفُوا | 17 |
النساء [4] | فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ (99) | 18 | |
المائدة [5] | يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ (15) | 19 | |
الشورى [42] | وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ (25) | 20 | |
الشورى [42] | وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ (30) | 21 | |
النور [24] | وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ (22) | وَلْيَعْفُوا | 22 |
البقرة [2] | إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ (237) | يَعْفُوْنَ | 23 |
- Kata al-‘Afwu dalam bentuk Fi’il ‘Amr
السورة | الآية | اللفظ | النمرة |
البقرة [2] | وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا (286) | اعْفُ | 24 |
آل عمران [3] | فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ (159) | 25 | |
المائدة [5] | فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (13) | 26 | |
البقرة [2] | فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ (109) | اعْفُوْا | 27 |
- Kata al-‘Afwu dalam bentuk Masdar
السورة | الآية | اللفظ | النمرة |
البقرة [2] | وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ (219) | الْعَفْوَ | 28 |
الأعراف [7] | خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (199) | 29 | |
الحج [22] | لَيَنْصُرَنَّهُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (60) | عَفُوٌّ | 30 |
المجادلة [58] | وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) | 31 | |
النساء [4] | فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (43) | عَفُوًّا | 32 |
النساء [4] | فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا (99) | 33 | |
النساء [4] | إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا (149) | 34 |
- Kata al-‘Afwu dalam bentuk Isim Fa’il
السورة | الآية | اللفظ | النمرة |
آل عمران [3] | وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134) | الْعَافِيْنَ | 35 |
- Makna al-‘Afwu secara etimologi
Secara etimologi, kata al-‘Afwu terambil dari akar kata yang terdiri dari 3 huruf yaitu ‘ain, fa dan waw.[10] Menurut Imam Ibn Manzhur, kata ini dengan segala derivasinya di dalam Al-Qur’an mengandung makna yang cukup beragam di antaranya adalah meninggalkan sesuatu, menghapus, melindungi, menutupi, membebaskan dan kelebihan.[11]
Dalam tafsir al-Mishbah, makna kata ini berkisar pada dua hal, yaitu meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini, lahir kata al-‘Afwu yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan). Perlindungan Allah Swt dari keburukan dinamakan ‘âfiyah.
Perlindungan mengandung makna ketertutupan. Dari sini, kata al-‘Afwu juga diartikan menutupi. Bahkan, dari rangkaian ketiga huruf di atas, lahir makna terhapus atau habis tiada berbekas karena yang terhapus dan habis tidak berbekas pasti ditinggalkan. Pemaafan Allah Swt berarti Allah Swt menghapus kesalahan hamba-hambanya serta meninggalkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran mereka.[12]
Ia juga dapat bermakna kelebihan atau banyak karena yang berlebih dapat ditiadakan atau ditinggalkan dengan memberikan kepada siapa yang meminta atau membutuhkannya dan yang banyak mudah atau tidak sulit dikeluarkan.[13]
Kata al-‘Afwu yang berarti kelebihan, contohnya terdapat dalam firman Allah Swt surat Al-Baqarah [2]: ayat 219,
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘al-‘afwu (yang berlebih dari keperluan)” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Kata al-‘afwu, pada dasarnya, maknanya mirip dengan al-ghafûr. Hanya saja kata al-‘afwu lebih tinggi nilainya dari pada maghfirah. Hal ini karena kata al-‘afwu memiliki makna yang lebih luas dari pada kata maghfirah. Kata maghfirah terambil dari kata yang maknanya menutup. Sesuatu yang ditutup pada hakikatnya tetap wujud hanya saja tidak terlihat. Sedangkan yang dihapus, berarti hilang dan tidak ada sisa kecuali hanya bekas-bekasnya saja.[14]
Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa definisi al-‘afwu secara etimologi memiliki arti yang beragama yaitu: meninggalkan sesuatu, menghapus atau tiada berbekas, melindungi, menutupi, membebaskan dan kelebihan.
- Makna al-‘Afwu secara terminologi
Kata al-‘afwu atau yang dalam bahasa Indonesia biasanya diterjemahkan dengan kata “maaf”, telah menjadi khazanah bahasa Indonesia sehingga digunakan dalam bahasa sehari-hari. Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata maaf memiliki tiga arti yaitu, pertama, pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda dan lain sebagainya) karena suatu kesalahan, kedua, ungkapan permintaan ampun atau penyesalan, ketiga, ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu. Dari ketiga arti tersebut, dalam kebiasaan sehari-hari, kata maaf biasanya digunakan untuk arti yang kedua yaitu ungkapan permintaan ampun atau penyesalan.[15]
Dari sini, maaf secara terminologi diartikan sebagai upaya untuk menghapus bekas luka yang ada di dalam hati seseorang akibat kesalahan yang telah dilakukan kepada orang tersebut. Memaafkan kesalahan orang lain berarti menghapus bekas-bekas luka yang ada di dalam hatinya. Bukanlah memaafkan namanya apabila masih ada tersisa bekas luka atau masih ada dendam yang membara.[16]
Untuk itu, berdasarkan teks-teks keagamaan, para pakar hukum Islam menuntut dari seseorang yang meminta maaf dari orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak akan melakukannya lagi serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya tersebut. Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan, kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan tersebut dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya. Dengan cara seperti itulah diharapkan seseorang yang memberikan maaf bisa menghapus semua bekas luka yang ada dalam hatinya dan tidak menyimpan rasa dendam kepada orang yang telah berbuat kesalahan kepadanya.[17]
Dari segi praktis, mungkin hal tersebut akan sangat sulit dilakukan oleh seseorang yang telah berbuat kesalahan. Apalagi dengan menyampaikan kesalahan yang telah ia lakukan terhadap orang lain –khususnya bila orang itu belum mengetahui sebelumnya- mungkin bukannya maaf yang akan diterima tetapi kemarahan dan putus hubungan. Dalam hal ini, Rasulullah Saw mengajarkan sebuah doa:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dosa kepada-Mu dan dosa yang kulakukan kepada makhluk-Mu. Aku bermohon ya Allah agar Engkau mengampuni dosa yang kulakukan pada-Mu serta mengambil alih dan menanggung dosa yang kulakukan pada makhluk-Mu”
Dengan demikian, diharapkan dosa-dosa yang dilakukan terhadap orang lain yang telah dimohonkan maaf kepada yang bersangkutan akan diambil alih oleh Allah Swt, walaupun yang bersangkutan tidak memaafkannya. Pengambilalihan tersebut antara lain dengan jalan memberikan kepada yang bersangkutan ganti rugi berupa imbalan kebaikan atau pengampunan dosa-dosanya.[18]
- Hasil dan Pembahasan
Dengan meneliti dan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah maaf memaafkan (al-‘Afwu), akan ditemukan bahwa konsep Al-Qur’an mengenai al-‘Afwu adalah perintah memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah atau zhalim bukan perintah meminta maaf. Sehingga kita tidak perlu menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, tetapi hendaknya memberinya sebelum diminta. Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan adanya perintah untuk meminta maaf. Ayat-ayat yang ditemukan adalah perintah atau permohonan agar kita memberikan maaf.[19]
Namun, dalam realita kehidupan sehari-hari, sepengetahuan dan sepanjang pengamatan penulis, yang terjadi justru sebaliknya. Pemaafan itu biasanya muncul dan terjadi setelah orang yang berbuat salah atau zhalim meminta maaf terlebih dahulu. Kalau belum meminta maaf maka tidak terjadi pemaafan dan mereka biasanya tetap saling bermusuhan dengan saling mengedepankan egoisme masing-masing, yang berbuat salah enggan untuk meminta maaf karena egoismenya, begitu pula yang dizhalimi enggan untuk memaafkan sebelum yang berbuat zhalim meminta maaf terlebih dahulu. Bahkan tidak jarang walaupun yang berbuat salah sudah meminta maaf, pemaafan itu belum juga muncul karena rasa sakit di hati yang begitu mendalam.
Perintah memaafkan kesalahan atau kezhaliman ini, bukan berarti bahwa Allah Swt senang terhadap kesalahan atau kezhaliman tersebut. Pada hakikatnya Allah Swt tidak menyukainya. Anjuran ini diperintahkan karena Allah Swt hendak memberi ganjaran bagi yang teraniaya dan memberikan maaf karena cinta-Nya kepada ihsan dan orang-orang muhsin.[20]
Kendati demikian, bukan berarti bahwa yang bersalah tidak diperintahkan untuk meminta maaf, bahkan ia wajib memintanya. Tetapi yang lebih perlu adalah menuntun manusia agar berbudi luhur sehingga tidak menunggu atau membiarkan yang bersalah datang mengeruhkan air mukanya dengan suatu permintaan, walaupun permintaan itu adalah pemaafan.
Demikianlah tuntunan Agama mengenai konsep al-’afwu. Allah Swt bersumpah bahwa siapa saja yang bersabar menghadapi kezhaliman orang lain sehingga tidak melakukan pembalasan dan memaafkan yang menganiayanya, maka sesungguhnya perbuatan yang demikian luhurnya itu termasuk hal-hal yang diutamakan, hal yang hendaknya dilakukan oleh orang yang mempunyai akal sehat.[21]
Kemudian, perintah memaafkan kesalahan orang lain dalam ajaran Agama adalah hanya berkaitan dengan kesalahan, pelanggaran hak-hak pribadi, penghinaan, perlakuan buruk atau kedzhaliman seseorang kepada kita, bukan dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan Agama.
Adapun dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan Agama, maka Agama mengingatkan agar menegakan hukum dan keadilan terhadap para pelanggar hukum.[22] Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan akan hal tersebut, di antaranya adalah Firman Allah Swt,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nûr [24]:2)
Kesimpulan dan Penutup
Dalam Al-Quran, kata al-‘Afwu dengan berbagai derivasi dan konteks yang bervariatif dinyatakan sebanyak 35 kali. Dari 35 kata tersebut, kata al-‘Afwu dinyatakan dalam bentuk Fi’il Mâdhi sebanyak 11 kali, dalam bentuk Fi’il Mudhâri sebanyak 12 kali, dalam bentuk Fi’il ‘Amr sebanyak 4 kali, dalam bentuk Masdar sebanyak 7 kali dan dalam bentuk Isim Fa’il sebanyak 1 kali.
Konsep al-‘afwu yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an adalah perintah memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah atau zhalim bukan perintah meminta maaf. Quraish Shihab mengatakan bahwa sepanjang penelitian yang ia lakukan, dalam Al-Qur’an tidak ditemukan adanya perintah untuk meminta maaf. Ayat-ayat yang ditemukan adalah perintah atau permohonan agar kita memberikan maaf. Perintah memaafkan kesalahan atau kezhaliman ini, bukan berarti bahwa Allah Swt senang terhadap kesalahan atau kezhaliman tersebut.
Anjuran ini diperintahkan karena Allah Swt hendak memberi ganjaran bagi yang teraniaya dan memberikan maaf karena cinta-Nya kepada ihsan dan orang-orang muhsin. Di sisi lain, boleh jadi perintah meminta maaf memberi kesan adanya pemaksaan untuk memintanya, sedangkan permintaan maaf hendaklah dilakukan dengan tulus dan penuh kesadaran tentang kesalahan yang sudah dilakukan. Kendati demikian, bukan berarti bahwa yang bersalah tidak diperintahkan untuk meminta maaf, bahkan ia wajib memintanya. Tetapi yang lebih perlu adalah menuntun manusia agar berbudi luhur sehingga tidak menunggu atau membiarkan yang bersalah datang dengan suatu permintaan, walaupun permintaan itu adalah pemaafan.
Kemudian, perlu diingat bahwa perintah memaafkan kesalahan orang lain dalam ajaran Agama adalah hanya berkaitan dengan kesalahan, pelanggaran hak-hak pribadi, penghinaan, perlakuan buruk atau kedzhaliman seseorang kepada kita, bukan dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan Agama. Adapun dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan Agama, maka Agama mengingatkan agar kita menegakan hukum dan keadilan terhadap para pelanggar hukum.
Daftar Pustaka
‘Abdul Bâqî, Muhammad Fu’âd, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, al-Qâhirah: Dar al-Hadis, 1428H/2007 M
Al-Anshârî, Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr ash-Shâdir, 1410 H/1990 M
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad, Beirut: Darul Fikr, T.th
Ibn Taimiyah, Taqiyyuddin Ahmad, Majmu’ al-Fatawa, Beirut: Darul Wafa’, 1432 H/2011 M
Rahmat, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002 M
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002 M
At-Tirmidzî, Abû ‘Ȋsa, Sunan at-Tirmidzî, Beirut: Darul Fikr, 1421 H/2001 M
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995
[1] Abû ‘Ȋsa at-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzî, (Beirut: Darul Fikr, 1421 H/2001 M), kitab Shifât al-Qiyâmah wa ar-raqâ’iq wa al-wara’ ‘an rasûlillah, bab minhu, juz 9, hal 39
[2] Para ulama berbeda pendapat mengenai kema’shuman para nabi dan rasul. Imam Ibn Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa menjelaskan bahwa kema’shuman dibagi menjadi 2 (dua) yaitu, pertama, ma’shum dari kesalahan dalam menyampaikan ajaran agama. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa para nabi dan rasul ma’shum. Kedua, ma’shum dari dosa dan maksiat. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat ke dalam 3 (tiga) pendapat, pertama, pendapat yang mengatakan bahwa mereka ma’shum secara mutlak. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa mereka hanya ma’shum dari dosa besar saja. Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa mereka hanya ma’shum dalam menyampaikan ajaran agama saja, namun tidak ma’shum dari dosa dan maksiat. Menurut Imam Ibn Taimiyah, pendapat mayoritas para ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa para nabi dan rasul ma’shum dari dosa besar dan tidak ma’shum dari dosa kecil. Para nabi dan rasul pernah melakukan kesalahan dan dosa kecil namun segera bertaubat dan diampuni oleh Allah Swt.
Taqiyyuddin Ahmad bin Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Beirut: Darul Wafa’, 1432 H/2011 M) juz 4, hal 319
[3] Dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar [39]: 53 Allah Swt berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
[4] Rasulullah Saw sudah sering mencontohkan sikap mulia tersebut, sehingga beliau Saw sangat terkenal sebagai orang yang pemaaf. Dalam sejarah disebutkan bahwa beliau Saw taburkan maafnya kepada orang-orang yang menyakiti dan yang mengusirnya dari tanah airnya. Bahkan beliau Saw serahkan sorbannya sebagai tanda maafnya kepada Wahsyi yang telah membunuh pamannya tercinta Hamzah.
Jalaluddin Rahmat, Reformasi Sufistik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002 M), hal 218
[5] Allah Swt berfirman dalam surat Alu ‘Imrân [3]: 133-134,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
[6] Allah Swt berfirman dalam surat Asy-Syûrâ [42] ayat 43,
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
[7] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirut: Darul Fikr, T.th), hadîts ‘Uqbah ibn ‘Âmir, juz 35, hal 206
[8] Muhammad Fu’âd ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, (al-Qâhirah: Dar al-Hadis, 1428H/2007 M), hal 572-573
[9] Muhammad Fu’âd ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, hal 572-573
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002 M), vol 4, hal 427
[11] Ibn Manzhûr al-Anshârî, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr ash-Shâdir, 1410 H/1990 M), juz 15, hal 72
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol 4, hal 427
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol 4, hal 427
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol 9, hal 105
[15] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal 794
[16] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009 M), hal 503
[17] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, hal 503
[18] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, hal 504
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, vol 9, hal 311-312
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, vol 12, hal 180-182
[21] Allah Swt berfirman dalam surat Asy-Syûrâ [42]: 43,
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, vol 4 hal 199